Tepatnya pada 22 Agustus 1864, lahir sebuah aturan yang kini menjadi
acuan internasional terkait perang dan HAM, yang dinamai Konvensi
Pemulihan Para Korban Perang atau juga disebut Konvensi Jenewa. Konvensi Jenewa adalah bagian dari Hukum Internasional yang juga dikenal
sebagai Hukum Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata. Pada
hari itu, 12 negara menandatangani Konvensi Jenewa pertama untuk
melindungi korban perang termasuk mereka yang bertugas sebagai perawat
untuk para korban. Pertemuan ini juga menjadi cikal bakal lahirnya
Palang Merah Internasional. Konvensi ini dipelopori oleh seorang
sukarelawan peduli korban perang asal Swiss, Jean-Henri Dunant. Dia
menegaskan bahwa korban perang dan juga perawat yang bertugas harus
dilindungi. Tujuan konvensi ini
adalah untuk menjadi patokan standar dalam memperlakukan korban perang.

Pertempuran Solferino merupakan perang besar terakhir dalam sejarah dunia di mana dua pasukan berada dalam komando monarki yaitu terdiri dari tentara Perancis yang dikomandoi Napoleon III bersekutu dengan Angkatan Darat Sardinia yang merapat di bawah pimpinan Victor Emanuel II. Ada kurang lebih 300.000 pasukan yang ikut bagian, dan menjadikannya sebagai perang terbesar setelah Pertempuran Leipzig (1813).
Darah yang tumpah di Solferino dengan menangnya Perancis membuat bulu kuduk Henry Dunant bergidik. Rasa kemanusiaannya benar-benar terusik. Henry datang di saat pertempuran hampir berakhir. Mayat-mayat bergelimpangan di tanah. Tentara yang terluka tidak mendapat perawatan yang memadai. Pengusaha asal Swiss itu kemudian menggerakkan inisiatif untuk mengorganisasi warga sipil, terutama perempuan, untuk membantu para korban luka. Mereka tentu saja kekurangan modal. Henry Dunant sendiri yang mengatur pembelian persediaan hingga membantu mendirikan rumah sakit darurat.Ia meyakinkan penduduk untuk melayani para korban luka tanpa mempersoalkan asal kubu mereka selama berperang. Tak disangka-sangka, solidaritas penduduk benar-benar menguat. Para perempuan di kota dekat Castiglione dele Stiviere bahkan menciptakan slogan “tutti fratelli” atau semua bersaudara.
Pengalaman mengerikan itupun dituangkan Henry Dunant dalam buku Un Souvenir de Solferino atau A Memory of Solferino. Buku dicetak sebanyak 1.600 eksemplar dan terbit pertama kali pada 1862. Modalnya, lagi-lagi, sepenuhnya dari kantong Henry Dunant. Buku itu ia distribusikan ke banyak pemimpin politik dan militer terkemuka di Eropa. Di dalamnya ia beri penegasan terkait ide mendirikan organisasi netral yang bertugas menyediakan perawatan bagi tentara yang luka-luka atau sakit usai perang. Agar ide menyebar dengan efektif, ia juga berkeliling Eropa.
Tanggapan publik atas buku Dunant cukup positif. Salah satunya datang dari Presiden Masyarakat Jenewa untuk Kesejahteraan Publik, Gustave Moynier, yang kemudian mengajak Dunant untuk membahas realisasi ide. Pertemuan keduanya terjadi pada awal Februari 1863
Mereka lalu bersepakat untuk membuat komite yang terdiri dari lima orang. Selain Dunant dan Moynier, tiga lainnya yakni Jenderal Swiss Henri Dufour, dokter Louis Appia dan dokter Théodore Maunoir. Pertemuan perdana komite lima berlangsung pada 17 Februari 1863, dan kini dikenang sebagai tanggal pendirian Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Dari pertemuan Konvensi Jenewa, dihasilkan empat kesepakatan inti, yakni menjamin keselamatan tentara yang terluka semasa perang dari penangkapan dan penghancuran; wajib menerima dan merawat peserta perang yang terluka; perlindungan bagi warga sipil yang merawat tentara yang terluka; menghormati lambang Palang Merah dalam mengidentifikasi orang dan peralatan yang dijamin dalam perjanjian.Jean-Henri Dunant juga menyodorkan penggunaan lambang bersama secara internasional untuk merepresentasikan peralatan medis. Gagasan ini kemudian menelurkan Palang Merah Internasional beserta logo persimpangan berwarna merah.
Sejauh ini, Konvensi Jenewa ini telah digunakan lebih dari 180 negara sebagai dasar dalam menjalin hubungan internasional, termasuk saat berkonflik dengan negara lain.

Latar Belakang Perjanjian Jenewa
Berawal pada akhir Juni 1859, wilayah Solferino (kini Lombardia, Italia) membara akibat dijadikan medan pertempuran oleh dua monarki Eropa.Pertempuran Solferino merupakan perang besar terakhir dalam sejarah dunia di mana dua pasukan berada dalam komando monarki yaitu terdiri dari tentara Perancis yang dikomandoi Napoleon III bersekutu dengan Angkatan Darat Sardinia yang merapat di bawah pimpinan Victor Emanuel II. Ada kurang lebih 300.000 pasukan yang ikut bagian, dan menjadikannya sebagai perang terbesar setelah Pertempuran Leipzig (1813).
Darah yang tumpah di Solferino dengan menangnya Perancis membuat bulu kuduk Henry Dunant bergidik. Rasa kemanusiaannya benar-benar terusik. Henry datang di saat pertempuran hampir berakhir. Mayat-mayat bergelimpangan di tanah. Tentara yang terluka tidak mendapat perawatan yang memadai. Pengusaha asal Swiss itu kemudian menggerakkan inisiatif untuk mengorganisasi warga sipil, terutama perempuan, untuk membantu para korban luka. Mereka tentu saja kekurangan modal. Henry Dunant sendiri yang mengatur pembelian persediaan hingga membantu mendirikan rumah sakit darurat.Ia meyakinkan penduduk untuk melayani para korban luka tanpa mempersoalkan asal kubu mereka selama berperang. Tak disangka-sangka, solidaritas penduduk benar-benar menguat. Para perempuan di kota dekat Castiglione dele Stiviere bahkan menciptakan slogan “tutti fratelli” atau semua bersaudara.
Pengalaman mengerikan itupun dituangkan Henry Dunant dalam buku Un Souvenir de Solferino atau A Memory of Solferino. Buku dicetak sebanyak 1.600 eksemplar dan terbit pertama kali pada 1862. Modalnya, lagi-lagi, sepenuhnya dari kantong Henry Dunant. Buku itu ia distribusikan ke banyak pemimpin politik dan militer terkemuka di Eropa. Di dalamnya ia beri penegasan terkait ide mendirikan organisasi netral yang bertugas menyediakan perawatan bagi tentara yang luka-luka atau sakit usai perang. Agar ide menyebar dengan efektif, ia juga berkeliling Eropa.
Tanggapan publik atas buku Dunant cukup positif. Salah satunya datang dari Presiden Masyarakat Jenewa untuk Kesejahteraan Publik, Gustave Moynier, yang kemudian mengajak Dunant untuk membahas realisasi ide. Pertemuan keduanya terjadi pada awal Februari 1863
Mereka lalu bersepakat untuk membuat komite yang terdiri dari lima orang. Selain Dunant dan Moynier, tiga lainnya yakni Jenderal Swiss Henri Dufour, dokter Louis Appia dan dokter Théodore Maunoir. Pertemuan perdana komite lima berlangsung pada 17 Februari 1863, dan kini dikenang sebagai tanggal pendirian Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Dari pertemuan Konvensi Jenewa, dihasilkan empat kesepakatan inti, yakni menjamin keselamatan tentara yang terluka semasa perang dari penangkapan dan penghancuran; wajib menerima dan merawat peserta perang yang terluka; perlindungan bagi warga sipil yang merawat tentara yang terluka; menghormati lambang Palang Merah dalam mengidentifikasi orang dan peralatan yang dijamin dalam perjanjian.Jean-Henri Dunant juga menyodorkan penggunaan lambang bersama secara internasional untuk merepresentasikan peralatan medis. Gagasan ini kemudian menelurkan Palang Merah Internasional beserta logo persimpangan berwarna merah.
Sejauh ini, Konvensi Jenewa ini telah digunakan lebih dari 180 negara sebagai dasar dalam menjalin hubungan internasional, termasuk saat berkonflik dengan negara lain.
Comments
Post a Comment